MEDAN – Ricuh di tubuh Pengcab FORKI Kota Medan, pasca Musyawarah cabang (Muscab) yang digelar Kamis (5/10/2023), menuai keprihatinan dari sejumlah pemerhati karate di Kota Medan.
Seperti disampaikan salah seorang pemerhati karate dan pembina salah satu dojo di Kota Medan, DR Zulkarnain MSi. Sebagai insan karate di Kota Medan, ia merasa sedih dan prihatin.
“Kondisi seperti itu tidak seharusnya terjadi bila semua pihak tetap memegang teguh janji karate sebagai landasan falsafah karate. Dan juga bila semua pihak lebih mengutamakan pembinaan yang berkelanjutan kepada atlit-atlit karate di Medan, yang jumlahnya sangat besar,” kata Zulkarnain di Medan, Sabtu (7/10/203).
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 12 perguruan karate yang terdaftar di Forki Medan menyatakan sikap, menolak hasil muscab. Mereka menilai muscab yang dilaksanakan tidak sah. Karena, dari 23 perguruan karate yang terdaftar, hanya 12 perguruan yang mengikuti muscab. Bahkan 2 perguruan, menurut mereka, hanya sebagai peninjau.
Secara tegas, mereka menolak seluruh hasil muscab, dan menolak Ketua Umum Forki Medan terpilih.
Sebagai pemerhati karate, Zulkarnain menila, awal kericuhan di tubuh Forki Medan dipicu proses penjaringan calon ketua yang dianggap tidak profesional, bahkan jauh dari solidaritas dan rasa kekeluargaan yang seharusnya ada.
“Forki adalah infrastruktur yang diperlukan agar mampu mengoptimakan sumber daya yang diperlukan untuk pembinaan atlet secara berjenjang. Kalau sudah seperti ini apa yang bisa dilakukan Forki Medan ke depan,” tambahnya.
Dalam membangun olahraga, sambungnya, butuh kolaborasi besar dan bersatu padu dari seluruh stakeholder yang ada. Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan yang mumpuni untuk menggerakkan program kerja organisasi.
Untuk memenuhi itu, persyaratan pokoknya tentu seluruh perguruan harus bergandengan tangan secara erat dan satu misi untuk mewujudkan prestasi hebat karate di Kota Medan.
“Forki adalah wadah bersatunya seluruh perguruan menyusun program kerja dan melaksanakannya secara bersama-sama, dengan hatinya karate,” katanya.
Menurutnya, jika sebahagian besar perguruan tidak berada dalam satu perahu, tentunya Forki tidak ada yang diurus. Sebab, semua berada di luar Forki.
“Inilah esensi perlunya pengurus yang kompak dan bangga dengan kebersamaan dan kekeluargaan yang dimiliki,” ujarnya.
Kekisruhan ini tentunya tidak bisa menghimpun sumber daya yang diperlukan sekaligus menjalankan program kerja secara optimal.
Seluruh konsekuensi keadaan tersebut yang paling dirugikan adalah pembinaan atlet. Padahal secara tradisi, Medan adalah gudangnya atlet karate potensial.
“Kalau kita masih mengatakan ‘aku karate’, tentunya ini harus segera dibenahi dengan menyatukan seluruh potensi yang ada. Organisasi tidak boleh dijalankan hanya dengan aturan-aturan formal saja, tetapi harus dilengkapi moralitas, etika dan komitmen membangun karate yang hebat. Bila ini yang dilakukan akan membangun legitimasi dan kepercayaan yang besar dari seluruh stakehoder karate kepada Forki Medan. Melalui kepercayaan itulah Forki akan efektif menjalankan visi misi dan program kerjanya,” ungkapnya.
Untuk itu, dirinya meminta para pembina atlet karate melakukan rekonsiliasi besar. Seluruh pengurus bersatu padu dan bekerja keras melakukan pembinaan untuk melahirkan atlet berprestasi Kota Medan ditingkat nasional dan internasional.
“Sudah saatnya membuang seluruh kepentingan kelompok dan ego masing- masing yang sebenarnya ditonton entitas karate hanya seperti dagelan dan lelucon yang tidak perlu dipertontonkan. Saatnya bangun kolaborasi karate Kota Medan untuk prestasi hebat,” tutupnya. (red)