Categories: Politik

“Keadilan di Persimpangan Politik dan Hukum”

Pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, kepada Thomas Trikasih Lembong, Hasto Kristiyanto, dan lebih dari 1.100 individu lainnya, menjadi tonggak penting dalam dinamika politik dan hukum nasional pasca-Pemilu 2024. Keputusan ini tidak hanya mencerminkan keberanian politik Presiden dalam mengedepankan rekonsiliasi nasional, namun juga menguji kedewasaan demokrasi kita dalam merespons kompleksitas antara hukum dan politik

Secara konstitusional, Pasal 14 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Namun, kewenangan ini bukan sekadar hak prerogatif, melainkan juga amanah etis yang harus dilaksanakan dalam koridor keadilan, akuntabilitas, dan transparansi.

Dalam konteks Thomas Lembong, kita melihat figur profesional yang rekam jejaknya tidak terafiliasi dengan praktik korupsi maupun pelanggaran hukum yang serius. Ia dikenal sebagai sosok reformis, berintegritas, dan kerap menyuarakan kebijakan publik yang progresif. Amnesti kepadanya mencerminkan upaya untuk memulihkan hak-hak warga negara yang kemungkinan terdampak oleh proses hukum yang bernuansa politik

Sementara itu, dalam kasus Hasto Kristiyanto, keputusan Presiden memberikan abolisi memperlihatkan niat baik untuk menjauhkan hukum dari potensi kriminalisasi terhadap oposisi atau kelompok kritis. Hasto adalah Sekjen partai yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah demokrasi Indonesia, dan keterlibatannya dalam dinamika hukum belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kontestasi politik. Penghentian proses hukum terhadapnya harus dilihat secara objektif, dan menjadi evaluasi bersama untuk memastikan proses hukum ke depan tetap berpijak pada prinsip due process of law, bukan tekanan politik

Kami memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo Subianto atas langkah strategis dan berani ini. Namun, apresiasi ini bukan tanpa catatan. Langkah amnesti dan abolisi harus diiringi dengan penjelasan yang komprehensif kepada publik terkait landasan hukum dan moralnya, guna menghindari preseden bahwa hukum dapat dinegosiasikan dalam ruang kekuasaan. Tanpa transparansi, legitimasi demokrasi akan mudah tergerus oleh kecurigaan publik

Kami di HMI berkeyakinan bahwa rekonsiliasi nasional adalah kebutuhan demokrasi hari ini, terutama dalam menghadapi tantangan geopolitik, ekonomi, dan krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Namun, rekonsiliasi ini harus berpijak pada nilai kebenaran dan keadilan, bukan sekadar kompromi politik.

Sebagai Ketua Bidang Pembangunan Demokrasi dan Politik HMI Cabang Medan, saya mengajak seluruh elemen bangsa, khususnya mahasiswa dan generasi muda, untuk tetap menjadi penjaga nurani demokrasi.

Langkah Presiden harus terus diuji secara publik melalui forum akademik, diskusi kritis, dan advokasi sipil, agar keadilan tidak hanya menjadi retorika, tetapi menjadi napas dalam setiap kebijakan publik. (Red)