Oleh : Aris Rinaldi Nasution SH
MEDAN-INDONESIA telah merasakan pesta demokrasi sejak tahun 1955. Ya, masa itu merupakan Pemilihan Umum (Pemilu) pertama yang digelar di negeri berlandaskan Pancasila ini.
Namun saat itu, bisa terhitung hanya beberapa media massa yang berkecimpung dalam memberikan informasi ke masyarakat. Bagaimana dengan sekarang?
Pastinya jauh berbeda. Lepas reformasi 1998, media massa berkembang pesat. Bahkan kini media massa masuk ke dalam pilar demokrasi yang keempat.
Hal itu juga disampaikan Presiden RI Joko Widodo saat menghadiri Hari Pers Nasional Tahun 2023 yang digelar di Gedung Serbaguna Pemerintahan Provinsi, Sumatera Utara (Sumut), beberapa waktu lalu.
Kata Presiden Joko Widodo, bahwa media massa arus utama yang mampu menjadi referensi masyarakat dalam mendapatkan informasi. Di pilar keempat demokrasi adalah Rule of Law. Artinya, media massa bekerja dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Yakni berfungsi untuk menginformasikan, mendidik, menghibur, dan pengawasan sosial (social control) pengawas perilaku publik dan penguasa.
Hanya saja, di ajang demokrasi terbuka tak menjamin jua media massa bersikap netral. Sebab, masih ada ‘hitam-putih’ dalam penyajian, termasuk mengenai Pemilu.
Dan hal tersebut pun tak bisa dipungkiri, dikarenakan peran segelintir media massa yang terkadang terikat ‘kontrak’ politik lewat katabelece ‘rupiah’.
Salahkah sikap tersebut? Sudah pasti salah, sebab hal itu mengangkangi aturan dan peraturan yang telah ditetapkan. Pola pikir demikian harus diubah demi masa depan Pemilu yang Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) serta Jurdil (Jujur dan Adil).
Selain itu, Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan tidak melakukan politik praktis, sebab ASN dilarang berpolitik praktis sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Dalam aturan disebutkan bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun. ASN juga dilarang keras untuk terlibat dalam Pilkada dengan mempromosikan kandidat tertentu, karena ASN itu harus netral dan profesional.
Apabila ada ditemukan, ASN yang kedapatan melanggar aturan tersebut dapat dipublikasikan, namun itu harus dengan data yang lengkap, agar tidak menjadi berita hoaks.
Oleh karenanya, dalam pengawasan penyelenggaraan pada Pemilu nantinya tidak terlepas akan peran media massa untuk berpartisipatif dalam membangun kesadaran politik.
Sehingga akan terhindar dari tindakan penyelewengan dan merubah kesadaran masyarakat dari apatis menjadi aktif agar Pemilu lebih berkualitas dan meningkatkan kepercayaan bagi publik.
Serta berpartisipatif yang berkesinambungan dengan simpul-simpul media dalam rangka pendidikan politik, demokrasi dan pengawasan publik. Sehingga akan muncul dan terbangun kesadaran pendidikan politik di masyarakat, selanjutnya akan tergerak daya pikir dan tingkah laku yang akomotif dengan partisipatif politik di masyarakat.
Media massa juga dapat mengedukasi masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Pemilu. Selain itu, para penyelenggara di dua lembaga tersebut yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga menggunakan jasa media massa untuk mensosialisasikan regulasi apa saja yang baru diundangkan.
Sehingga masyarakat dapat memahami dan mengikuti alur perubahan-perubahan dan tata cara kepemiluan. Kita berharap di Pemilu Serentak 2024 mendatang, gejala-gejala (seperti kasus di atas-red) bisa diminimalisir dengan kehadiran media sebagai pengawas partisipatif. SEMOGA!!!
(Penulis adalah wartawan Mediaapakabar.com Unit Hukum dan Politik)